Jumat, 10 Desember 2010



Pemandangan danau Laut Tawar Dari Ketinggian



Perkebungan Kopi Bener Meriah Aceh Tengah (Gayo)

Jual Kopi Luwak Liar dari Gayo (Aceh Tengah).


agan-agan ......Ane mau jual kopi luwak liar asli yang dikumpulkan dari alam....
produk yang saya jual dijamin 100% asli no tipu-tipu...

Kopi Gayo berasal dari Dataran Tinggi Gayo, Gayo adalah nama Suku Asli di Aceh yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kopi Gayo disebut-sebut sebagai kopi organik terbaik di dunia.

Selain telah memiliki reputasi yang baik, kopi Gayo juga memiliki citarasa yang khas, seperti hasil uji citarasa yang dilakukan oleh Christopher Davidson salah seorang cupper internasional. Christopher mengatakan bahwa bahwa kopi Gayo memiliki keunikan tersendiri yang tidak tergantikan oleh jenis-jenis kopi lainnya, keunikan dari kopi Gayo ini dikenal dengan istilah heavy body and light acidity yakni sensasi rasa keras saat kopi ditenguk dan aroma yang menggugah semangat.

 kami menjual kopi luwak dari dataran tinggi tanah gayo..
* kopi luwak bersal dari luwak liar
* pengeringan dilakukan dengan bantuan cahaya matahari
* pemisahan kulit dari biji kopi dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan ditumbuk secara manual tanpa menggunakan mesin agar aroma kopi luwak tetap terjaga
* biji kopi luwak melalui proses pensortiran agar memperoleh biji kopi yang berkualitas

Produk yang saya ditawarkan:
Menyediakan kopi luwak hutan asli 100% yang berasal dari dataran tinggi aceh tengah (gayo) saya jual dalam bentuk:

Raw Bean (Gabah): Rp 700.000/kg
Greenbean (Beras): Rp 800.000/kg
Powder (Bubuk) : Rp 1.000.000/kg

Note :
1. Barang dikirim menggunakan pelayanan regular via Tiki JNE
2. Cek Ongkir di www.jne.co.id
3. Barang dikirim setelah ada report Transfer
4. Harga diatas sewaktu-waktu bisa berubah  dan bisa nego.

untuk anda yang ada dijakarta,bisa ketemu langsung sama saya....

telp.08561569715
     

alamat: jl. bantar jati RT/RW 07/02 kel.setu kec.cipayung jakarta timur 13880 no.60
email : genalypanedi@yahoo.com

silakan mencoba.......................!

NB : Menerima partai besar dan kecil

5 manfaat kopi luwak

Pengertian Kopi Luwak

kopi luwak yaitu buah kopi matang pohon yang dimakan oleh luwak (sejenis musang), kemudian dikeluarkan sebagai kotoran luwak tetapi biji-biji kopi tersebut tidak tercerna sehingga bentuknya masih dalam bentuk biji kopi. Jadi di dalam perut musang biji kopi mengalami proses fermentasi dan dikeluarkan lagi dalam bentuk biji bersama dengan kotoran Luwak. Selanjutnya biji kopi luwak dibersihkan dan diproses seperti kopi biasa.

Kopi luwak merupakan salah satu upaya meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di samping komoditas kopi biasa seperti kopi reguler Arabika (Java coffee) dan kopi reguler Robusta. yang membedakan kopi luwak dengan biji kopi biasa adalah dimakan oleh Luwak (sejenis musang) dan di keluarkan dalam bentuk biji kopi, Sehingga aromanya lebih harum serta ada rasa pahit dan getir asam yang lebih khas dan special.

Kopi luwak merupakan jenis biji kopi yang termahal di dunia, sehingga sampai masuk ke Guiness Book of Records. 4 tahun belakangan ini harga kopi luwak di pasar internasional semakin meningkat, bahkan mencapai US$ 500/kg bentuk biji kering (kadar air 11,5%). Bandingkan dengan harga kopi biasa kualitas nomor 1 yang hanya US$ 4,5/kg.

Kemasyhuran kopi luwak telah terkenal sampai kemancanegara, bahkan di Luar Negeri, terdapat kafe yang menjual kopi luwak (Civet Coffee) dengan harga yang mahal. sejak dahulu, sewaktu penjajahan Belanda kopi luwak sudah menempati posisi pasar paling atas, baik dilihat dari sisi rasa maupun harga. Hanya saja, karena dulu kualitas produk belum terjaga secara kontinyu, harganya meskipun berada di posisi tertinggi tidak bisa dikerek lebih tinggi lagi. Penyebab utamanya, kopi luwak 100% masih tergantung pada alam.

Penelitian yang dilakukan terhadap kopi ternyata masih berlangsung. Hal ini dianggap perlu karena kopi ternyata masih menyimpan banyak manfaat yang belum terekspos. Bagi Anda yang menggemari kopi, inilah beberapa manfaat kopi yang mungkin belum Anda ketahui.

1. MENCEGAH PENYAKIT SARAF

Peminum kopi berkafein cenderung tidak akan mengembangkan penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Kandungan antioksidan di dalam kopi akan mencegah kerusakan sel yang dihubungkan dengan Parkinson.

Sedangkan kafein akan menghambat peradangan di dalam otak, yang kerap dikaitkan dengan Alzheimer.

2. MELINDUNGI GIGI

Kopi yang mengandung kaein memiliki kemampuan anti – bakteri dan anti – lengket sehingga dapat menjaga bakteri penyebab lubang menggerogoti lapisan gigi.

Minum kopi secangkir setiap hari terbukti dapat mencegah risiko kanker mulut hingga separuhnya.

Senyawa yang ditemukan di dalam kopi juga dapat membatasi pertumbuhan sel kanker dan kerusakan DNA.

3. MENURUNKAN RISIKO KANKER PAYUDARA


Menjelang masa menopause, wanita yang mengonsumsi 4 (empat) cangkir kopi sehari mengalami penurunan risiko kanker payudara sebesar 38 persen, demikian menurut sebuah studi yang dipublikasikan di The Journal of Nutrition.

Kopi melepaskan phytoestrogen dan flavonoid yang dapat menahan pertumbuhan tumor.

Namun konsumsi kurang dari 4 (empat) cangkir tidak akan mendapatkan manfaat ini.

Mencegah batu empedu. Batu empedu tumbuh ketika lendir di dalam kantong empedu memerangkap kristal – kristal kolesterol.

Xanthine, yang ditemukan di dalam kafein, akan mengurangi lendir dan risiko penyimpanannya.

Dua cangkir kopi atau lebih setiap hari akan membantu proses ini.

4. MELINDUNGI KULIT

Konsumsi 2 – 5 cangkir kopi setiap hari dapat membantu menurunkan risiko kanker kulit nonmelanoma hingga 17 persen.

Kafein dapat memacu kulit untuk membunuh sel – sel prakanker, dan juga menghentikan pertumbuhan tumor.

5. MENCEGAH DIABETES

Orang yang mengonsumsi 3 – 4 cangkir kopi reguler atau kopi decaf (dengan kadar kafein yang dikurangi) akan menurunkan risiko mengembangkan diabetes tipe II hingga 30 persen.

Asam klorogenik dapat membantu mencegah resistensi insulin, yang merupakan pertanda adanya penyakit ini.

Tiga Varietas Kopi Gayo Segera Dapat Sertifikat

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, didampingi Bupati Aceh Tengah Nasaruddin, melihat biji kopi Gayo unggulan di acara pameran industri yang berbasis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Jakarta Convention Centre, Kamis (27/5). TRIBUNNEWS.COM/dany permana
Banda Aceh – Tiga dari 12 varietas kopi Arabika yang selama ini dikembangkan di daratan tinggi Gayo, kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, segera mendapat sertifikasi nasional dari depatemen pertanian. Ketua Forum Kopi Aceh (FKA), Mustafa Ali, tadi sore, mengemukakan, ketiga varietas kopi Gayo yakni Bor-bor, Tim-tim, dan P-88 sudah didaftarkan ke Departemen Pertanian dan tinggal menunggu pelepasan.
“Kita tagetkan paling lambat sebelum pertengahan 2010 ketiga varietas kopi Gayo tersebut secara simbolis sudah dilepas oleh Menteri Pertanian,” katanya.
Dikatakan, semua pihak terus berupaya mendorong agar tiga varietas kopi Gayo tersebut segera medapat sertifikat nasional, sehingga komoditas tersebut semakin dikenal baik nasional maupun internasional.
Kemitraan Aceh untuk Pembangunan Ekonomi (APED-Aceh Partnerships for Economic Development), FKA dan Balai Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) yang didukung Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah telah membentuk tim untuk mengusulkan ketiga varietas kopi Arabika unggulan tersebut.
“Jadi, apabila sudah ada sertifikat, Forum Kopi Aceh bisa melakukan penangkaran bibit sendiri,” katanya.
Disebutkan, dari 13 verietas kopi Arabika yang dikembangkan di dataran tinggi Gayo, hanya tiga jenis yang memiliki mutu baik. Dari hasil penelitian dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember , ketiga varietas tersebut memiliki prospek pasar yang menggembirakan dan memiliki cita rasa tinggi.
Penelitian itu dimulai sekitar tiga tahun lalu dengan melibatkan para peneliti serta Puslit Kopi dan Kakao Indonesia Jember, Kebun Percobaan Gayo, BPTP Aceh. Pengembangan kopi di daerah dingin itu memiliki keunikan, baik dari sisi proses produksi sampai cita rasa.
Ditambahkan, 2008 merupakan trend bagi pasaran kopi yang tergolong spesial yakni kopi yang memiliki cita rasa khas. Areal tanam kopi Arabika di dataran tinggi Gayo tersebut yang paling luas di Indonesia, kini mencapai 90 ribu hektare dengan produktivitas antara 700 hingga 1.000 kg per hektare.
Selama ini kopi yang diekspor dari Aceh adalah jenis Arabika, yang merupakan salah komoditas andalan daerah, dengan pangsa pasar utama adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Eropa.
Data Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM Aceh menyebutkan, volume eskpor kopi Aceh Januari-September 2009 mencapai 4,635 ribu ton dengan nilai 14,699 juta dolar AS (Rp14,699 miliar).
Dari jumlah tersebut, Amerika Serikat merupakan negara paling banyak mengimpor kopi Aceh yakni 3,516 ribu ton (11,048 juta dolar), sedangkan selebihnya ke Kanada dan Eropa, seperti Jerman, Belgia, dan Norwegia. Selain itu kopi Aceh juga diekspor ke Meksiko dan Selandia Baru.
Sumber: serambinews.com [Jum'at, 04 Desember 2009 15:58:51 WIB].

Cara mengujicita rasa kopi


CARA MENGUJI CITA RASA KOPI (AL COFFEE)
Dalam meng Cupping test Coffee ada beberapa persiapan yang harus dilakukan antara lain :

Persiapan sebelum melakukan Cupping Test terhadap kopi.

1. Persiapan peralatan seperti :
Mesin sangrai, kompor untuk merebus air. timbangan (tera), Mangkuk atau gelas, dan sendok untuk meyeruput kopi.

2. Persiapan untuk seorang pencicip kopi (Cupper):
Seorang Cupper Coffee sebaiknya satu jam sebelum agar mengisi perutnya dengan makanan supaya perut tidak merasa kosong (tidak makan makanan yang pedas, berminyak dan manis)dan tidak merokok (bagi yang perokok), serta berkumur-kumur dengan air putih ...
semua ini dilakukan untuk menetralisasi fungsi lidah agar lebih peka terhadap kopi yang akan dicicipi.

Langkah-langkah yang dilakukan AL Coffee dalam melakukan Cupping test terhadap Kopi :

1. mengambil sample sekitar 10% s/d 30%
sample tersebut kemudian diaduk hinga rata..dipilihkan/sortir untuk memilah kopi jelek(piksel dan Cabutan) dan kopi yang baik fisiknya. kopi yang fisiknya akan Cupping.. sedangkan yang jelek/piksel/cabutan tdk perlu di cupping karena sudah dipastikan hasil cuppingnya jelek

2. menyangrai kopi yang akan di Cupping.
Dalam hal yang sangat perlu diperhatikan adalah : api mesin penyangrai, agar kopi yang disangrai tidak kegosongan, kurang mateng, lapisan luar kopi sudah gosong dan lapisan dalam kopi masih kurang mateng. maka besar kecilnya api harus tetap di jaga, semua ini sangat mempengaruhi dalam citarasa kopi yang akan di cupping.



3. Menimbang
Hasil gongsengan kopi tersebut di timbang dan dibagikan ke dalam mangkuk sebanyak 3 s/d 24 cup dengan setiap mangkuknya berisi 12 grams

4. Menggrider biji kopi hasil sangrai
Biji kopi yang diisi kemangkuk tadi lalu digrider,, pada saat penggilingan ini seorang cupper akan akan merasakan aroma yang ditimbulkan saan pengrenderan ini..dalam hal ini hampir bisa diprediksikan akan aroma kopi tersebut,, manis..asem..ataupun bau-bau tak sedap.



5. Mencium Aroma Kopi (Flavor Awal)
kopi yang sudah digrender disusun diatas meja Cupping, kemudian disedu dengan air mendidih, kira-kira 1/2 mangkuk, Kemudian diaduk-aduk kopi yang disedu tersebut dengan sendok sambil mendekatkan hidung ke kemangkuk dan menghirup udara yang keluar dari adukan kopi yang disedu tersebut.


6. Membersikan Buih
Setelah selesai penciuman aroma kopi mangkuk tersebut ditambakan dengan air mendidih.. kemudian buih pada mangkuk dibersihkan


7. Mencicip Kopi
Setelah mangkuk tersebut siap dibersihkan, kemudian ditunggu sampai hangat, lalu baru siap untuk diseruput.
cara menyeruput kopi:
ambilkan satu sendok (seperti sendok sayur) lalu diseruput bersama masuknya udara kedalam rongga mulut (jangan ditelan), kemudian ditahan 3 s/d 5 detik. lalu udara yang dimulul dikeluarkan melalu hidung
bintik-bintik kecil yang ada pada lidah dan rongga hidung yang menembus ke mulut akan memberi sinyal ke otak akan rasa dan aroma yang terkandung dalam kopi tersebut..
Tip : Jika anda menguji bubuk kopi yang anda beli atau bubuk kopi sudah jadi (bukan dari proses awal seperti diatas). dan pada Cuppingnya terdapat rasa dan aroma yang aneh (Bukan karakter rasa dan aroma kopi) sebaiknya anda tidak melanjutkan uji coba cupping lagi, karena kopi yang anda cupping tersebut sudah dipastikan terbuat dari biji kopi yang bermutu rendah (Piksel/Cabutan) dicampur deng bahan - bahan lainnya bahkan yang lebih menakutkan dicampurkan dengan bahan kimia.. kopi campuran seperti itu sudah dipastikan tidak sehat untuk dikonsumsi..bisa-bisa setelah anda meminumnya anda akan menjadi sakit.



8. Mencatar (Merecomendasi)
setelah selesai cupping.. hasil dari cupping tersebut dicatat dan diberi poin seperti pada Tingkat Acidity, Aroma, dan Flavor.


Setelah diketahui akan rasa dan aroma kopi tersebut bagus dan Herbal, maka langsung disangrai untuk dijadikan bubuk, Maka Pada Lebel AL Coffee selalu dibumbukan Tanggal sangrai dan hasil dari cupping test kopi tersebut...sebagai tambahan informasi... kopi sebaiknya disimpan tidak lebih dari 6 bulan pada wadah tertutup setelah tanggal disangrai...

Selamat menikmati Citarasa Kopi Arabica Gayo dengan Mutu Premium Grade...
Berkat Rahmat tuhan yang maha kuasa yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk memproduksi bubuk kopi Arabica Gayo Asli...dengan diberikannya kesempatan ini.. kami "AL COFFEE" mempunyai kewajiban melindungi para pengemar dan pencinta coffee untuk memdapatkan citarasa kopi arabica gayo yang asli

Wassalam
http://www.al-coffee.co.cc/2010/07/artikel-al-coffee.html

Merek "Kopi Gayo" Kenapa Menggiurkan ?

Tahukah di mana letak Gayo? Para penggemar kopi seharusnya sudah tahu. Daerah ini terletak di propinsi Aceh. Daerah ini terkenal dengan kopinya. Keterkenalan kopi Gayo menyebar hingga ke mancanegara. Bahkan ada yang menyebutkan rasa kopi Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Montain asal Brazil. Mungkin karena inilah sehingga sebuah perusahaan Belanda mempatenkan nama Kopi Gayo di negaranya sebagai merek miliknya. Lho?

Tentu saja masyarakat Aceh kecolongan, juga Indonesia. Tetapi ada peluang untuk mendapatkannya kembali. Menurut Saky Septiono dari Direktorat Merek Dirjen HAKI Dephum dan HAM, beberapa waktu lalu, Kopi Gayo tidak bisa didaftarkan sebagai merek dagang karena merupakan indikasi geografis (IG) di Indonesia. Karena itu pemerintah Indonesia berusaha membatalkan pendaftaran merek secara internasional itu dengan mengacu pada Trade Relative Aspects of Intellectual Property.

Sebenarnya bukan cuma perusahaan Belanda tadi yang ingin memiliki merek Kopi Gayo. Sejumlah warga Gayo pun banyak yang mencoba mendaftarkan merek Kopi Gayo ke Dephumkan RI secara perorangan, namun tidak dipenuhi karena sertifikat IG hanya boleh dimiliki oleh masyarakat Gayo, bukan perseorangan, lembaga, perusahaan, atau institusi lain. (Den Setiawan, den.setiawan@yahoo.co.idAlamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya . Foto: http://wb8.itrademarket.com)

Peluang Perlindungan Indikasi Geografis Untuk Kopi Arabika Gayo

Peluang IG
Kopi Arabika dari dataran tinggi Gayo berpeluang untuk mendapatkan perlindungan indikasi geografis. Hal ini bisa dilihat dari reputasi kopi Gayo yang sudah terkenal baik dipasar domestik maupun pasar internasional. Salah seorang pakar kopi internasional, Kenneth Davids, mengatakan bahwa di Sumatera, kopi Gayo dan Lintong Mandailing pada tahun 1996 telah di petakan,  ini menunjukkan bahwa kopi Gayo sudah dikenal di manca negara.
Selain telah memiliki reputasi yang baik, kopi Gayo juga memiliki citarasa yang khas, seperti hasil uji citarasa yang dilakukan oleh Christopher Davidson salah seorang cupper internasional. Christopher mengatakan bahwa bahwa kopi Gayo memiliki keunikan tersendiri yang tidak tergantikan oleh jenis-jenis kopi lainnya, keunikan dari kopi Gayo ini dikenal dengan istilah ”heavy body and light acidity”  yakni sensasi rasa keras saat kopi ditenguk dan aroma yang menggugah semangat.
Faktor geografis dataran tinggi Gayo dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam mengolah kopi juga menjadi peluang yang sangat besar untuk mendapatkan sertifikat IG.  Dengan ketinggian rata-rata 1.000 dpl serta tanah yang subur, dataran tinggi Gayo sangat cocok ditanami kopi jenis Arabika.  Selain itu juga teknik pengolahan secara semi washed dan full washed yang dilakukan oleh masyarakat dataran tinggi Gayo merupakan keunikan tersendiri, teknik ini telah dilakukan masyarakat selama turun temurun dan teknik pengolahan seperti ini tidak ditemukan pada daerah penghasil kopi lainnya.
Dengan faktor-faktor diatas jelaslah bahwa dataran tinggi Gayo telah memenuhi beberapa komponen utama untuk mendapatkan perlindungan indikasi geografis.

Langkah-Langkah Mendapatkan Perlindungan IG untuk Kopi Gayo
Ada beberapa langkah-langkah yang harus diperhatikan serta dilakukan secara bersama oleh semua pihak agar perlindungan Indikasi Geografis kopi Gayo dapat terwujud. Langkah-langkah tersebut adalah:

Sosialisasi
Sosialisasi akan manfaat adanya perlindungan indikasi geografis pada masyarakat dataran tinggi Gayo sangat perlu dilakukan, agar masyarakat tidak salah mengerti akan adanya indikasi geografis. Peran sosialisasi ini dapat dilukan oleh  Dinas terkait, Forum Kopi Aceh dan lembaga-lembaga lainnya.
Membentuk Masyarakat IG
Setelah masyarakat mengetahui dengan benar terhadap perlindungan indikasi geografis, saatnya membentuk Masyarakat Indikasi Geografis Dataran Tinggi Gayo.

Study
Para  pakar juga terlibat dalam melakukan study tentang hubungan faktor geografis terhadap mutu kopi yang dihasilkan didataran tinggi Gayo.

Verifikasi
Dalam tahapan ini, verifikasi/validasi dilakukan oleh Pemeritah Kabupaten & Propinsi.

Batas Wilayah
Penentuan batas wilayah geografis yang akan mendapat perlindungan IG, dilakukan oleh  masyarakat serta dibantu oleh para pakar/ahli.
Setelah langkah-langkah diatas dilakukan, tahapan selanjutnya adalah Menyusun Buku Persyaratan Kopi “Gayo” Indikasi Geografis, serta mengajukan pendaftaran Perlindungan Indikasi Geografis kepada Pemerintah  dalam hal ini ke Ditjen HKI, Departemen Hukum dan HAM.
Setelah semua tahapan di jalankan dengan baik oleh semua pihak, maka perlindungan untuk Kopi Arabika akan menjadi kenyataan didataran tinggi GAYO. (indra)

Kopi Arabika Gayo Peroleh Score Tertinggi dalam Event Lelang Kopi Special Indonesia


Kopi Arabika Gayo asal Atu Lintang memperoleh score tertinggi dalam event Lelang Kopi special Indonesia (Indonesian Specialty Coffee Auction) yang diselenggarakan di Auditorium PT. Putra Bhinekka Perkasa, Denpasar Bali akhir pekan lalu (19-10/10/2010).

Lelang kopi yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI) diikuti peserta dari seluruh daerah di Indonesia yang memproduksi kopi Arabika serta sejumlah pengusaha pembeli kopi dari Amerika Serikat, Taiwan, Australia, Singapura, dan Mesir ikut andil dalam lelang kopi spesial pertama di Indonesia ini.

Direktur Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI), Ina A. Muwarni, menyatakan, dalam ajang lelang kopi ini pihaknya menerima 59 buah sampel kopi yang berasal dari Aceh 7 sample, Sumatera Utara 11 sample, Jambi 1 sample, Bengkulu 5 sample, Jawa 11 sample, Bali 3 sample, Flores 6 sample, Papua 2 sample dan Luwak 13 sample.
Setelah dilakukan cupping atau pengujian citra rasa mengikuti standar SCAA (Specialty Coffee Association of America) dan CQI (Coffee Quality Institute) yang dilakukan 22 orang Q-Graders Indonesia dan internasional, hanya 22 lot kopi yang dinyatakan lolos untuk mengikuti lelang. Setiap lot berukuran 600 kg untuk kopi Arabika dan 10-15 kg untuk kopi Luwak.

Pada saat lelang berlangsung, para pembeli dan peminat kopi juga diberi kesempatan melakukan cupping yang kemudian dilanjutkan agenda lelang dengan menggunakan sistem English Open Cry, lelang dibuka dengan harga yang ditetapkan berdasarkan harga pasar New York yang ditutup pada Jumat (8/10) sebesar 4,1 USD/kg.

Akhir dari lelang ini, 1 lot kopi Arabika Aceh asal Atu Lintang Aceh Tengah yang dikirim oleh Forum Kopi Aceh, UNDP APED menempati urutan pertama dengan perolehan cupping score sebesar 85.34 dan roaster atau perusahaan pengolah kopi asal Amerika Serikat, TONY’S Coffee and Teas, ditetapkan sebagai pembeli untuk Arabika Aceh asal Atu Lintang Aceh Tengah dengan penawaran tertinggi.

Program Associate UNDP APED, T. Budi Hermawan, menyatakan “perolehan cupping score dan penawaran tertinggi untuk kopi Arabika asal dataran tinggi Gayo ini merupakan bukti bahwa kopi Arabika Gayo terbaik di Indonesia dan saat ini sudah dilirik oleh para pembeli kopi Internasional, dan juga hasil ini merupakan pencapaian terbesar bagi provinsi Aceh umumnya dan bagi petani kopi di dataran tinggi Gayo khususnya” ujar Budi.

Ditempat terpisah, sebelum acara lelang kopi ini, bertempat di Grand Hyat Nusa Dua Bali, pada tanggal 3-6 Oktober 2010 juga diadakan kegiatan Kontes Kopi Specialty Indonesia yang diselenggarakan oleh Puslit Kopi Kakao Indonesia dan Assosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI). Kopi Arabika asal dataran tinggi Gayo memenangkan juara I pada kontes kopi ini dengan menyisihkan kopi specialty dari daerah lain di Indonesia, untuk juara II di tempati oleh kopi Arabika asal Flores.

Ketua Forum Kopi Aceh, Mustafa Ali, mengatakan ini adalah kali kedua Forum Kopi Aceh dan UNDP APED mengirim kopi Arabika yang berasal dari dataran tinggi Gayo mengikuti kontes kopi specialty Indonesia. Pertama pada tahun 2008, kopi Gayo memenangkan juara III, dan sekarang pada tahun 2010 kopi Gayo berhasil menduduki juara I. “kemenangan kopi Gayo ini merupakan kemenangan bagi seluruh masyarakat kopi didataran tinggi Gayo, dan diharapkan semua pihak dapat mempertahankan kemenangan ini untuk kontes kopi specialty di tahun berikutnya” ujar Mustafa. (sbarry/aped-project/kopigayo.blogspot)

KOPI: KOMODITAS UNGGULAN DARI MASA KOLONIAL DI DATARAN TINGGI GAYO KABUPATEN ACEH TENGAH

Deni Sutrisna
Balai Arkeologi Medan
Kata kunci:
kopi, Gayo, tanam paksa
I. Pendahuluan
Kopi yang saat ini sudah dikenal luas sebagai minuman dengan cita rasa khas dan dipercaya mempunyai manfaat besar bagi peminumnya, telah dikenal sejak abad-abad sebelum Masehi. Menurut sumber tertulis kopi berasal dari daerah jazirah Arab. Keterkaitan dunia Arab dengan kopi juga dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa istilah “kopi” berasal dari bahasa Arab, quahweh. Dari dunia Arab, istilah tadi diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis), caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris), dan coffea (Latin). Namun diantara pakar masih belum ada persesuaian pendapat tentang daerah asal kopi. Berbagai daerah telah diindentifikasikan sebagai daerah dan habitat asal tanaman kopi oleh pakar dari berbagai keahlian.
Linnaeus seorang botanikus dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun 1753 berpendapat bahwa habitat kopi terletak diantara daerah subur Saudi Arabia yang disebut Arabia Felix, yang kemudian dikenal dengan nama Mekkah. Karenanya dia memberi nama tanaman tadi Coffea arabica. Akan tetapi di dalam tulisannya kemudian di tahun 1763 dia menyebutkan daerah asal kopi sebagai “Arabia” dan “Ethiopia”, meskipun dia lebih memberi titik tekan pada Arabia, dan hanya menyebutkan Ethiopia dalam kaitannya dengan Arabia.
Pendapat lain dari Lankester (1832) mengatakan bahwa Coffea arabica dibawa dari Persia ke Saudi Arabia. Sedangkan kajian historis yang dilakukan oleh Southard (1918 membawa pada kesimpulan bahwa pada abad XI bangsa Arablah yang membawa biji-bijian kopi dari suatu daerah di Ethiopia yang disebut Harar. De Condolle, sebagaimana dilaporkan oleh Fauchere (1927) berpendapat bahwa kopi merupakan tanaman liar yang tumbuh di Abyssiria, Ethiopia, Sudan, Mozambique dan Guinea.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, nampaknya sebagian besar para ahli mengidentifikasikan Ethiopia sebagai daerah asal Coffea arabica. Jenis kopi yang kemudian diketemukan di pegunungan Ruwenzeri (Uganda), sekitar 450-600 km di selatan habitat asal Coffea arabica, ternyata dari spesies yang meskipun dekat, akan tetapi berbeda.
Adapun penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 yang mendapatkan biji Arabika mocca dari Arabia ke Batavia (Jakarta). Kopi arabika itu pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat bagian timur Jatinegara, Jakarta yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi. Penyebaran selanjutnya dari tanaman kopi tersebut sampai juga ke kawasan dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Dari masa kolonial Belanda hingga sekarang Kopi Gayo khususnya telah menjadi mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat Gayo bahkan telah menjadi satu-satunya sentra tanaman kopi kualitas ekspor di daerah Aceh Tengah. Selain itu bukti arkeologis berupa sisa pabrik pengeringan kopi masa kolonial Belanda di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah telah memberikan kejelasan bahwa kopi di masa lalu pernah menjadi komoditas penting perekonomian di sana. Untuk lebih jelas mengenai sejarah dan sisa pabrik pengeringan kopi di Tanah Gayo itu, berikut uraiannya.
II. Kopi Indonesia pada masa kolonial
Tanaman kopi (Coffea spp) adalah spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili rubiaceae dan genus coffea. Tanaman ini tumbuhnya tegak, bercabang dan bila dibiarkan tumbuh dapat mencapai tinggi 12 m. Daunnya bulat telur dengan ujung agak meruncing, daun tumbuh berhadapan dengan batang, cabang dan ranting-ranting. Tanaman kopi umumnya akan mulai berbunga setelah berumur sekitar 2 tahun. Salah satu jenis kopi yaitu kopi arabika termasuk varietas unggul yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Ditanam di daerah dengan ketinggian antara 700-1700 dpl dan suhu 16º-20º C.
  • Di tanam di daerah yang iklimnya kering selama 3 bulan/tahun secara berturut-turut yang sesekali mendapat hujan kiriman.
  • Umumnya peka terhadap serangan penyakit HV (cendawan Hemileia vastatrix), terutama bila ditanam di dataran rendah atau ketinggian kurang dari 500 dpl.
  • Rata-rata produksi sedang, harga dan kualitas relatif lebih tinggi dari kopi lainnya.
  • Umumnya berbuah sekali dalam setahun.
Komoditas kopi ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah perekonomian Indonesia semenjak periode awal penetrasi kapitalisme internasional ke dalam masyarakat pra-kapitalis Indonesia. Semenjak diperkenalkannya kopi jenis Arabika oleh kaum kapitalis Belanda ke tanah Jawa (Batavia), tanaman kopi ini mengalami perkembangan yang amat pesat. Jenis kopi tersebut kemudian menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan melalui sistem tanam paksa (cultur stelsel) yang diperkenalkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1830. Melalui sistem tanam paksa ini rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Dari sistem tanam paksa ini telah menghasilkan komoditi kopi yang cukup meyakinkan. Di antara tahun 1830-1834 produksi kopi arabika di Jawa mencapai 26.600 ton, selang 30 tahun kemudian produksi kopi tadi meningkat menjadi 79.600 ton (Creutzberg, 1975 dalam Retnandari & Moeljarto,1991:15).
Berkembangnya tanaman kopi ini di Jawa khususnya dan daerah-daerah lain pada umumnya karena didukung oleh kondisi tanah yang subur dan iklim yang cocok serta tersedianya tenaga kerja yang cukup, apalagi dengan diterapkannya sistem tanam paksa. Dengan dipegangnya monopoli perdagangan kopi di tangan Pemerintah Kolonial Belanda, telah memungkinkan eksploitasi dan pentransferan nilai lebih (surplus values) yang cukup besar ke Negeri Belanda, yang ikut menopang pertumbuhan ekonominya secara tajam. Dalam pada itu diundangkannya Agrarische Wet (UU Agraria) pada tahun 1870 yang memberi peluang bagi kaum kapitalis untuk menyewa tanah dalam jangka panjang telah mendorong tumbuhnya sejumlah koffie onderneming terutama sekali di Jawa Timur. Penanaman kopi telah memberikan kepada pemerintah kolonial penghasilan yang besar, sebelum penanaman oleh negara lainnya melebihi kopi sesudah tahun 1870-an (Bachri, 2005:125).
Berkembang pesatnya tanaman kopi sangat menguntungkan sehingga pada akhirnya penanaman kopi meluas, diantaranya hampir ke seluruh karesidenan Jawa. Kesemuanya telah membawa produksi kopi ke titik puncaknya di abad ke XIX yang pada tahun 1880-1884 mencapai 94.400 ton (Creutzberg,1975 dalam Retnandari & Moeljarto,1991:15). Kopi memainkan peranan yang jauh lebih penting dibandingkan dengan gula tebu. Kalau nilai ekspor kopi rata-rata antara tahun 1865-1870 mencapai 25.965.000 gulden, maka dalam periode yang sama nilai ekspor rata-rata gula tebu hanyalah mencapai 8.416.000 gulden (Handelsstatistiek Java 1823-75, Tabel 10-11, p.39-41).
Namun berjangkitnya penyakit tanaman kopi, pes dan teknik budi daya tanaman kopi yang tidak memadai, telah membawa penurunan produksi kopi secara drastis, yang diantara tahun 1910-1914 mencapai titik terendahnya sebesar 35.400 ton. Peristiwa tragis tadi justru membuka frontiers baru dalam budi daya tanaman kopi dalam wujud diperkenalkannya varietas kopi Robusta yang lebih tahan penyakit dan mempunyai produktivitas yang lebih tinggi. Varietas kopi Robusta ini segera menyebar ke daerah lain, khususnya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan Aceh/NAD. Varietas kopi Arabika yang lebih sulit pembudidayaannya tinggal menempati lahan-lahan pertanian sempit pada ketinggian antara 900 – 1.000 meter di atas permukaan air laut, dan merupakan enclave di daerah Aceh (Takengon), Sumatera Utara (Sidikalang, Lintongnihuta, dan Mandailing), Jawa Timur (Besuki), dan Sulawesi Selatan (Toraja). Produksi puncak tanaman kopi dalam era sebelum Perang Dunia II terjadi di antara tahun 1935-1940 dengan produksi sebesar 124.600 ton. Pertumbuhan kopi varietas Robusta ini segera melampaui jenis Arabika sehingga pada saat ini mewujudkan 90 persen dari produksi yang ada.
Masa-masa Perang Dunia II ketika Indonesia diduduki Jepang dan masa pasca Perang Dunia II pada saat Revolusi Kemerdekaan merupakan masa-masa suram bagi produksi kopi. Banyak koffie onderrneming yang hancur sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari peperangan tadi serta adanya kecenderungan petani beralih ke tanaman produksi untuk subsistensi telah mengakibatkan turunnya produksi kopi secara drastis yang pada tahun 1950-an hanya mencapai 12-13% dari puncak produksi sebelum perang. Hal ini mengakibatkan hilangnya pasaran kopi Indonesia di pasaran internasional. Apa yang dikemukakan di atas tidak dapat dilepaskan dari moralitas petani, yang menekankan pada ekonomi survival dan wawasan mendahulukan keselamatan (safety-first philosophy). Kalau menurunnya harga kopi di pasaran internasional cenderung mendapatkan reaksi dari perkebunan kopi berupa menurunkan jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan usaha, maka reaksi petani kopi terhadap penurunan harga kopi tadi justru berwujud meningkatkan jumlah kopi yang dipetik untuk dapat mempertahankan derajat kehidupan subsistensi atau survival tadi.
III. Kopi Gayo dalam kajian sejarah dan sisa kepurbakalaannya
Kehadiran kekuasaan Belanda di Tanah Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya pendatang-pendatang yang menetap di sini. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan onder afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanah Gayo (di ketinggian 1.000 - 1.700 m di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi tanam di Sumatera Timur, kopi ditanam di areal bekas tanaman tembakau Deli yang kurang baik (Sinar, tt:316). Tanaman Tembakau Deli dikatakan kurang baik karena masa depan tembakau Deli waktu itu masih belum pasti.
Sebelum kopi hadir di dataran tinggi Gayo tanaman teh dan lada telah lebih dulu diperkenalkan di sana. Menurut ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul “Pepercultuur in Atjeh” menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Mandagaskar (Afrika Timur) dalam abad VII atau VIII ke tanah Aceh (Zainuddin, 1961:264). Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial. Pada akhirnya Belanda kemudian memperkenalkan dan membuka perkebunan kopi pertama seluas 100 ha pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Selain dibukanya lahan perkebunan, di tahun 1920 muncul kampung baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi Belanda itu, dan pada tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan membuka kebun-kebun kopi rakyat. Pembukaan itu didasari oleh pengetahuan yang diperoleh petani karena bertetangga dengan perkebunan Belanda itu. Pada akhir tahun 1930 empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele itu, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng (Melalatoa, 2003:51).
Salah satu bukti kepurbakalaan yang berkaitan dengan komoditas kopi ini adalah temuan berupa sisa pabrik pengeringan kopi (biji kopi) di dekat Mesjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Susilowati,2007). Secara astronomis terletak pada 040 36.640′ LU dan 0960 45.660′ BT (47 N 0251594 UTM 0510018). Bekas pabrik pengeringan kopi tersebut menempati lahan berukuran 110 m x 60 m, sebagian kini telah menjadi lahan Pesantren Terpadu Darul Uini. Pada lahan tersebut terdapat sisa bangunan berupa sisa pondasi, sisa tembok bangunan, bekas tempat kincir air, dan beberapa kolam tempat proses pengeringan kopi.
Tempat kincir air ditandai dengan 3 buah tembok berketebalan 15 cm, tinggi sekitar 2 m dan di bagian permukaan atasnya dijumpai masing-masing 2 buah baut besi yang diperkirakan sebagai tempat bertumpunya kincir angin. Di dekat bekas tempat kincir air tersebut dijumpai dua buah kolam tempat pemrosesan kopi, salah satunya berukuran panjang sekitar 2,65 m, lebar, 2,33 m dan tinggi sekitar 1,25 m. Pada bagian selatan terdapat saluran air yang menuju ke kolam di bagian selatan. Selain itu juga terdapat bekas tembok kolam pengering gabah kopi di bagian paling selatan setelah tembok saluran air. Pada bekas tembok kolam tersebut masih terdapat lubang saluran air di bagian utara.
Setelah masa kemerdekaan pabrik tersebut pernah terlantar, selanjutnya sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1979 pabrik tersebut pernah dikelola oleh PNP I, kemudian kepemilikannya berpindah ke PT Ala Silo dan terakhir lahannya kini dimiliki oleh Dinas Perkebunan Pemerintah Daerah Kab. Aceh Tengah.
Sekitar 40 m arah baratdaya dari lokasi pabrik berada, dijumpai rumah-rumah lama peninggalan masa kolonial, dan sekitar 85 m arah barat laut pabrik terdapat bekas bangunan rumah pejabat Belanda yang kondisinya kini sudah rata dengan tanah. Di bagian dalam bekas rumah tersebut terdapat bunker. Menurut informasi dahulu pernah digunakan untuk tempat persembunyian Mr. Syafrudin Prawiranegara (Pimpinan Sementara Pemerintah Darurat RI ketika terjadi Agresi Militer Belanda II). Rumah tersebut dibongkar pada tahun 1966 dan dijadikan sebagai rumah pekerja PNP I. Objek lainnya sekitar 1,2 km arah timurlaut pabrik, masuk dalam wilayah Desa Wih Pesam terdapat kolam pemandian air panas yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda.
Pada paruh kedua tahun 1950-an setelah lepas dari gangguan keamanan akibat pergolakan DI/TII yang menyebabkan keadaan ekonomi rakyat morat-marit, orang Gayo mulai berkebun kopi. Pada periode itu hutan-hutan dibabat untuk dijadikan kebun kopi. Pada tahun 1972 Kabupaten Aceh Tengah tercatat sebagai penghasil kopi terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas areal kebun kopi di Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 1972 adalah 19.962 ha.
Berikut tabel luas areal perkebunan kopi rakyat di sana tahun 1970-1975 per kecamatan:
No Kecamatan
1970
(ha)
1971
(ha)
1972
(ha)
1973
(ha)
1974
(ha)
1975
(ha)
1
Kota Takengon
125
129
133
137
145
650
2
Bebesan
4.500
4.635
4.774
4.918
5.066
5.218
3
Bukit
4.000
4.120
4.244
4.372
4.503
4.638
4
Bandar
4.750
4.893
5.040
5.191
5.347
5.507
5
Silih Nara
3.500
3.605
3.713
3.825
3.940
4.058
6
Timang Gajah
1.500
1.595
2.058
2.610
2.688
2.768
7
Linge
-
-
-
-
-
-
Total
18.375
18.977
19.962
21.053
21.689
22.839
(Sumber: Nasir,1976:3 dalam Melalatoa,2003:51)
Perkebunan kopi bagi warga Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kab. Aceh Tengah) dan Kabupaten Aceh Tengah merupakan urat nadi perekonomian yang paling menonjol, selain perdagangan sayur mayur seperti kol/kubis, wortel, cabai, dan cokelat. Sebagai komoditas ekspor, 27.953 keluarga di Aceh Tengah menggantungkan hidup mereka pada budi daya kopi dengan luas areal 46.392 ha, dan dengan rata-rata 720,7 kg/ha/tahun (BPS Kab. Aceh Tengah 2005:144-145). Konflik yang berkepanjangan menyebabkan sedikitnya 6.440 ha lahan kopi telantar dan 5.037 keluarga kehilangan lapangan kerja.
Setelah konflik mereda dan ditandatanganinya perjanjian damai RI-GAM pada akhir tahun 2005, para petani kopi kini mulai berani bercocok tanam di kebun kopi yang terletak jauh di lereng gunung, tidak sekedar menanam kopi di pekarangan rumah. Harga jual kopi pun -meski dipengaruhi harga kopi dunia- relatif stabil dan terus menguat karena jalur perdagangan antara Takengon-Bireun-Lhoksemauwe-Medan dapat dilalui kendaraan angkut tanpa resiko besar.
IV. Penutup
Komoditas kopi merupakan sokoguru perkebunan di daerah Tanah Gayo, Kabupaten Aceh Tengah sejak masa kolonial Belanda. Kopi bukan sekedar dikonsumsi di lokal Aceh, tetapi kini sudah menjadi komoditas ekspor. Sejak dibukanya perkebunan kopi, di tanah Gayo muncul beberapa perkampungan baru. Munculnya perkampungan-perkampungan baru tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadikan tanah gayo sebagai lumbung kopi karena kualitas jenis kopi (kopi arabika) yang ditanam memiliki harga yang cukup tinggi di pasaran internasional. Dalam beberapa dekade berikutnya produksi kopi mengalami pasang surut, puncaknya adalah ketika terjadi konflik bersenjata antara Pemerintah RI dan GAM. Banyak perkebunan kopi terbengkalai bahkan ditinggalkan, hingga kemudian tercapai nota kesepahaman bersama pada akhir tahun 2005, aktivitas perkebunan kopi mulai bangkit kembali dan kini telah menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Kepustakaan
Bachri, Saiful, 2005. Sejarah Perekonomian. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press
BPS Aceh Tengah, 2005. Aceh Tengah Dalam Angka 2005. Takengon: BPS Kab. Aceh Tengah dan Bappeda Kab. Aceh Tengah
Hurgronje, C. Snouck, 1996. Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20, terjemahan oleh Hatta Hasan Aman Asnah. Jakarta: Balai Pustaka
Kartodirdjo, Sartono, 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Marsden, William, 1999. Sejarah Sumatra, terjemahan oleh A.S Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Melalatoa, M.Junus, 2003. Gayo, Etnografi Budaya Malu. Jakarta: Yayasan Budaya Tradisional dan Kantor kementerian dan Pariwisata RI
Nasir, 1977. Pola Perdagangan Kopi Rakyat: Kasus Studi di Desa Ratawali dan Bukit Menjangan Kabupaten Aceh Tengah. Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh.
Retnandari dan Moeljarto Tjokrowinoto,1991. Kopi, Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media
Sinar, Tengku Luckman, tt. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: tp
Susilowati, Nenggih, 2007. LPA, Penelitian Arkeologi di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Medan: Balai Arkeologi Medan (belum diterbitkan).
Zainuddin, H.M, 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I. Medan: Pustaka Iskandar Muda
Sumber: Balai Arkeologi Medan.

suku gayo, kopi & bener meriah

Suku Gayo memiliki kerajaan yang berdiri sendiri dan dinamakan Kerajaan Linge. Dimana Kerajaan Linge ini dibangun pada tahun 416 H / 1025 M di Buntul Linge dengan raja pertamanya, Adi Genali atau yang dinamakan juga dengan Kik Betul, yang mempunyai empat orang putra yaitu Sibayak Linge, Empu Beru, Merah Johan, Merah Linge. Dimana Raja Linge I mewariskan sebilah pedang dan cincin permata kepada keturunannya. Dimana cincin permata itu berasal dari Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (tahun 1012 M -1038 M). Ketika Adi Genali membangun Kerajaan Linge bersama seorang perdana menteri Syeikh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.

Suku Gayo yang memiliki sejarah kerajaan Linge-nya ini bukan bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh. suku Gayo adalah suku minoritas yang berbeda kebudayaannya dengan budaya suku Aceh. Dimana menurut para Ahli Antropologi, budaya suku Gayo ini dikelompokkan kedalam budaya suku Batak. Karena terbukti dalam kenyataannya bahasa dan adat istiadat suku Gayo, seperti kesenian Didong dengan bahasa Gayo, Pepongoten, Sebuku, melengkan, munenes, saer berbeda dengan seni budaya yang ditampilkan oleh suku Aceh

Dan memang pada tahun-tahun terakhir ini suku Gayo lut (Aceh Tengah dan Bener Meriah) Gayo Lues, yang bergabung dengan Suku Alas yang berada Aceh Tenggara ditambah dengan suku Singkil dari wilayah Singkil Aceh Selatan telah bersatu untuk membangun wilayahnya sendiri terpisah dari Aceh. Dimana orang-orang dari suku Gayo, Alas dan Singkil ini merasa bukan orang Aceh dan siap membentuk wilayahnya sendiri yang dinamakan wilayah Leuser Antara. Leuser adalah nama gunung yang tingginya 3149 meter yang terletak di antara Aceh Tenggara dan Aceh Selatan.




Sejarah Kabupaten Bener Meriah


Pabrik kopi peninggalan jaman belanda. Bener Meriah (aceh Tengah)

 Kedatangan kaum kolonial Belanda sekitar tahun 1904, tidak terlepas dari potensi perkebunan tanah Gayo yang sangat cocok untuk budidaya kopi Arabika, tembakau dan damar. Pada masa ini wilayah Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya.Dalam masa kolonial Belanda tersebut di kota Takengon didirikan sebuah perusahaan pengolahan kopi dan damar. Sejak saat itu pula kota Takengon mulai berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo, khususnya sayuran dan kopi.

Sebutan Onder Afdeeling Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi Gun pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Gun dipimpin oleh Gunco. Setelah kemerdekaan RI diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, sebutan tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah lagi menjadi kabupaten. Aceh Tengah berdiri tanggal 14 April 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 Wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu Kewedanaan Takengon, Gayo Lues dan Tanah Alas.

Sulitnya transportasi dan didukung aspirasi masyarakat, akhirnya pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara melalui Undang - undang No. 4 Tahun 1974.
Kemudian, pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan Undang -undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah tetap beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong.Nama daerah : Kabupaten Bener Meriah Luas wilayah : 1.454,09 km² Ibukota : Simpang Tiga Redelong Jumlah penduduk : - Jumlah kecamatan : 7 Disahkan : 18 Desember 2003 Kabupaten Bener Meriah adalah kabupaten terbaru NAD sejak awal 2004, sebagai hasil pemecahan dari Kabupaten Aceh Tengah. Kabupaten Bener Meriah merangkumi bagian utara Kabupaten Aceh Tengah yang bersempadan dengan Kabupaten Bireun, Aceh Utara dan Aceh Tengah.

Kopi Aceh Tengah (Gayo) Diusulkan Dapat Sertifikasi Nasional

BANDA ACEH -- Komoditi kopi varietas unggul asal Kabupaten Aceh Tengah diusulkan mendapat sertifikasi nasional karena produk pertanian itu memiliki citra rasa cukup tinggi dan prospek pasar yang mengembirakan."Aceh Partnerships For Economic Develoment (APED) dan forum kopi Aceh segera mengusulkan tiga jenis kopi unggul yakni varietas Bor-Bor, Tim-Tim dan P 88 agar mendapat sertivikasi nasional untuk dapat dikembangkan di Aceh Tengah," Kabag Humas Pemkab Aceh Tengah, Windi Darsa di Takengon, Minggu.

Ketiga varietas tersebut sebelumnya telah mendapat penelitian dari pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia, tambahnya.Ia menjelaskan, tekad untuk mengusulkan tiga varietas unggul yang akan dikembangkan secara luas di Aceh Tengah itu terungkap dalam Workshop pemaparan hasil uji varietas kopi "Gayo" dan pembahasan indikasi geografis kopi.

Tiga varietas kopi "Gayo yang memiliki spesifikasi cita rasa tersebut disampaikan oleh DR. Surip Mawardi dari pusat penelitian kopi dan kakao, Jakarta.Dihadapan para eksportir kopi Aceh Tengah dan Bener Meriah, Surip menyatakan pihaknya telah melakukan penelitian selama sekitar tiga tahun di Aceh Tengah untuk mendapatkan varietas yang cukup unggul dikembangkan. Pengembangan kopi di daerah berhawa sejuk di NAD itu dinilai cukup memiliki keunikan.

Dari data menyebutkan luas tanaman kopi Aceh Tengah seluas 70 ribu hektar. Dari total luas itu seluas 40 ribu hektar merupakan perkebunan kopi produktif.Surip Mawardi menjelaskan, tahun 2008 merupakan trend bagi pasaran kopi yang tergolong special. Artinya dari 20 varietas kopi yang dikembangkan itu maka tiga jenis kopi yang memiliki cita rasa khas.

Dalam proses pengolahan kopi spesial yang harga pasarannya masih mengacu pada terminal di New York tersebut masih dilakukan secara proses pengolahan basah gerbus basah dan gerbus kering."Proses seperti itu dicari oleh para konumen kopi dunia. Saya berharap agar ketiga varietas kopi itu dapat dikembangkan di dua kabupaten (Aceh Tengah dan Bener Meriah)," kata dia. (ant/kp/republika)

sejarah singkat kopi

Perkebunan kopi bener meriah (Aceh Tengah)

Kopi memiliki istilah yang berbeda-beda. Pada masyarakat Indonesia lebih akrab dengan sebutan kopi, di Inggris dikenal coffee, Prancis menyebutnya cafe, Jerman menjulukinya kaffee, dalam bahasa Arab dinamakan quahwa.

Sejarah kopi diawali dari cerita seorang penggembala kambing Abessynia yang menemukan tumbuhan kopi sewaktu ia menggembala, hingga menjadi minuman bergengsi para aristokrat di Eropa. Bahkan oleh Bethoven menghitung sebanyak 60 biji kopi untuk setiap cangkir kopi yang mau dinikmatinya.

Sejak penemuan tumbuhan kopi tersebut kemudian seorang sufi Ali Bin Omar dari Yaman menjadikan rebusan kopi sebagai obat penyakit kulit dan obat-obatan lainnya. Sehingga pada waktu itu kopi mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat negeri itu. Dari khasiat kopi tersebut akhirnya membawa kemakmuran bagi pemilik-pemilik kebun kopi, pengusaha kedai kopi, pedagang kopi, eksportir kopi, dan pemerintah di berbagai belahan dunia tanaman minuman beraroma khas itu ditanam.

Banyaknya khasiat yang didapat dari kopi, sehingga penyebarannya cukup pesat terutama di benua Eropa. Di Salerno, Italia, kopi telah dikenal pada abad kesepuluh. Setelah itu berlanjut dengan pembukaan kedai kopi bernama Botega Delcafe pada tahun 1645 yang kemudian menjadi pusat pertemuan cerdik pandai di negara pizza tersebut.

Di Kota London, coffee house pertama dibuka di George Yard di Lombat Sreet dan di Paris, kedai kopi dibuka pada tahun 1671 di Saint Germain Fair. Sedangkan di Amerika, kopi dijadikan sebagai minuman nasional di Amerika Serikat dan menjadi menu utama di meja-meja makan pagi. Meskipun perkembangan kopi begitu pesat pada abad-abad itu tetapi orang-orang Arab telah lebih dulu memonopolinya sebagai tanaman, dan mereka hanya mengekspor kopi yang sudah digoreng atau digonseng.

Sedangkan penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 sekitar tahun 1646 yang mendapatkan biji arabika mocca dari Arabia ke Jakarta. Kopi arabika pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi.

Kemudian kopi arabika menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan, melalui sistem tanam paksa. Setelah menyebar ke Pulau Jawa, tanaman kopi kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Pulau Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Timor. "Bahkan kopi arabika yang semula ditanam di Brasil (negara produsen kopi terbesar di dunia) konon bibitnnya berasal dari Pulau Jawa," ungkap Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jawa Timur Mudrig Yahmadi.

Dalam sejarahnya, Indonesia bahkan pernah menjadi produsen kopi arabika terbesar di dunia, walaupun tidak lama akibat munculnya serangan hama karat daun. Serangan hama yang disebabkan cendawan hemileia vastatrix tersebut menyerang tanaman kopi di Indonesia sekitar abad ke-19.

Meskipun demikian, sisa tanaman kopi arabika masih dijumpai di kantong penghasil kopi di Indonesia, antara lain dataran tinggi Ijen (Jatim), tanah tinggi Toraja (Sulsel), serta lereng bagian atas pegunungan Bukit Barisan (Sumatera), seperti Mandailing, Lintong dan Sidikalang (Sumut) serta dataran tinggi Gayo (DI Aceh).

Perjalanan kopi bukan begitu saja menjadi salah satu minuman dunia yang disenangi. Di Italia, pendeta-pendeta melarang umatnya minum kopi dan menyatakan bahwa minuman kopi itu dimasukkan sultan-sultan muslim untuk menggantikan anggur. Bukan hanya melarang tetapi juga menghukum orang-orang yang minum kopi.

Bahkan, tahun 1656, Wazir dan Kofri, Kerajaan Usmaniyah, mengeluarkan larangan untuk membuka kedai-kedai kopi. Bukan hanya melarang kopi, tetapi menghukum orang-orang yang minum kopi dengan hukuman cambuk pada pelanggaran pertama. Tetapi bertahun-tahun kemudian, pelarangan minum kopi di Timur Tengah lambat-laun terkikis, sehingga jika seorang suami melarang istrinya minum kopi, si istri tersebut bisa memakai alasan ini untuk minta cerai.

Di Swedia, konon Raja Gustaff ke II pernah menjatuhkan hukuman terhadap dua orang saudara kembar. Yang satu hanya dizinkan meminum kopi dan yang satu lagi diizinkan hanya teh. Siapa yang terlebih dahulu mati, maka dialah yang bersalah dalam satu tindak pidana yang dituduhkan terhadap mereka. Ternyata yang mati duluan adalah peminum teh pada usia 83 tahun.

Sejak itu orang-orang Swedia berbalik menjadi peminum kopi paling fanatik yang ada di dunia, sehingga sampai sekarang negara-negara Skandinavia kini peminum kopi tertinggi per kapita di dunia. Setiap orang bisa menghabiskan 12 kg lebih per tahun dibanding dengan di Indonesia yang hanya 0,6 kg per tahun.

Begitu bergengsinya minuman kopi ini, hingga Raja Frederick Agung dari Rusia pada tahun 1777 hanya memperbolehkan kalangan atas atau kelas bangsawan saja untuk menunjukkan kearistokratan kopi.
(dari berbagai sumber)